Sekapur Sirih

Terima kasih telah mengunjungi website kami. Beragam informasi terkini mengenai sekolah senantiasa akan kami hadirkan sebagai wujud komitmen kami terhadap pelayanan dan keterbukaan informasi. Adalah kebanggan kami telah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat yang menjadikan SMA Negeri 1 Perbaungan Selatan sebagai tempat studi yang tepat bagi putra/putrinya. Semoga kami senantiasa mendapatkan kemampuan dan kemudahan dalam memberikan pelayan yang terbaik dalam rangka memenuhi harapan masyarakat, khususnya kepada para siswa, orang tua dan stakeholder. Maju terus pendidikan Indonesia. Kita songsong Indonesia EMAS penuh keyakinan sambil memohon ridho Allah SWT.

Statistik Pengunjung



Galeri Terbaru

Facebook

Twitter

SEMARAK PERINGATAN HARI SUMPAH PEMUDA DI SMA NEGERI 1 PERBAUNGAN

2021-11-01 02:28:37

BERAGAM SUKU DAN ADAT WARGA SMA NEGERI 1 PERBAUNGAN

 

Peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun 2021 yang disambut meriah oleh Warga SMA Negeri 1 Perbaungan dengan menggunakan pakaian suku dan adat masing-masing.

Problematika Implementasi Kurikulum 2013

2015-01-26 07:08:59

Tulisan di bawah ini merupakan hasil refleksi dari lapangan setelah bertemu dengan banyak guru dalam rangka sosialisasi Kurikulum 2013. Sosialisasi itu sendiri bukan dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melainkan oleh yayasan sekolah swasta atau kampus perguruan tinggi. Mereka penasaran ingin mengetahui grand design (desain induk) Kurikulum 2013, yang selama ini diwacanakan melalui media massa saja. Ternyata para guru, kepala sekolah, pengurus yayasan, dosen, maupun mahasiswa banyak yang belum mengetahui desain induk Kurikulum 2013. Ini artinya masalah sosialisasi itu sendiri minim.

Perubahan kurikulum, di mana pun, sebetulnya hampir sama, selalu membutuhkan penyesuaian pola pikir para pemangku kepentingan (stake holder). Demikian pula yang terjadi pada Kurikulum 2013 ini, ia hanya mungkin sukses bila ada perubahan paradigma atau lebih tepatnya mindset para guru dalam proses pembelajaran. Hal itu mengingat substansi perubahan dari Kurikulum 2006 (KTSP) ke Kurikulum 2013 ini adalah perubahan proses pembelajaran, dari pola pembelajaran ala bank, yaitu guru menulis di papan tulis dan murid mencatat di buku serta guru menerangkan--sedangkan murid mendengarkan--menjadi proses pembelajaran yang lebih mengedepankan murid untuk melakukan pengamatan, bertanya, mengeksplorasi, mencoba, dan mengekspresikannya. Proses pembelajaran yang mendorong siswa untuk aktif tersebut hanya mungkin terwujud bila mindset guru telah berubah. Mereka tidak lagi memiliki mindset bahwa mengajar harus di dalam kelas dan menghadap ke papan tulis. Mengajar bisa dilakukan di perpustakaan, kebun, tanah lapang, atau juga di sungai. Media pembelajaran pun tidak harus buku, alat peraga, atau komputer. Tanam-tanaman dan pohon di kebun, sungai, dan sejenisnya juga dapat menjadi media pembelajaran.

Mengubah mindset guru seperti itu tidak mudah, karena sudah berpuluh tahun guru mengajar dengan model ala bank. Tidak mudah bila tiba-tiba guru harus berubah menjadi seorang fasilitator dan motivator. Mengubah mindset guru itulah pekerjaan rumah tersendiri bagi Kemendikbud dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013. Kegagalan mengubah mindset guru akan menjadi sumber kegagalan implementasi Kurikulum 2013. Persoalannya adalah perubahan mindset guru tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, melainkan butuh waktu bertahun-tahun, padahal Kurikulum 2013 itu harus dilaksanakan dalam waktu secepatnya. Komprominya adalah persoalan teknis dilatihkan dalam waktu satu minggu, tapi perubahan mindset harus dilakukan terus-menerus dengan cara mendorong guru untuk terus belajar.

Problem di lapangan

Implementasi Kurikulum 2013 akan menemui sejumlah masalah di lapangan. Selain persoalan paradigmatik, seperti mengubah mindset guru tersebut, ada problem teknis yang berkaitan dengan perubahan struktur kurikulum yang menyebabkan adanya pelajaran yang hilang maupun bertambahnya jam. Semuanya itu berimplikasi pada nasib guru.

Pertama, penghapusan mata pelajaran TIK (teknologi informasi dan komputer) di SMP berimplikasi besar terhadap eksistensi para pengampu bidang TIK yang latar belakang pendidikannya TIK. Mereka akan disalurkan ke mana? Pengajar TIK dengan latar belakang IPA, matematika, atau lainnya dapat dengan mudah disalurkan ke mata pelajaran lain sesuai dengan kompetensinya. Tapi tidak mudah bagi pengajar bidang TIK yang sudah tersertifikasi. Mungkin mereka dapat disalurkan untuk mengajar prakarya yang berbasiskan teknologi. Tapi masalahnya adalah apakah regulasi yang menyangkut sertifikasi mendukung kebijakan tersebut. Bila tidak, guru pula yang akan menjadi korban. Perebutan jam mengajar tetap akan terjadi untuk tetap dapat mempertahankan sertifikasi.

Kedua, penjurusan/peminatan di SMA yang dimulai begitu murid masuk di kelas I menimbulkan persoalan manajerial baru ihwal persyaratan pemilihan jurusan/minat. Terutama bila para murid baru memilih jurusan/peminatan di kelompok tertentu, misalnya kelompok matematika dan IPA saja. Para kepala sekolah/guru di SMA harus cermat sekali dalam menampung minat para calon murid agar tidak sering terjadi perpindahan jurusan/minat. Hal itu mengingat murid boleh pindah minat. Tapi seringnya pindah minat murid akan menyulitkan pengelolaan sekolah.

Masalah pilihan jurusan/minat itu sebaiknya disosialisasi di kelas III SMP agar, ketika lulus SMP, murid sudah memiliki gambaran mengenai jurusan/minat yang akan diambil saat masuk SMA. Penulis menggunakan istilah “penjurusan” di sini, karena ternyata apa yang disebut peminatan itu sama dengan penjurusan, hanya ditambah dengan boleh mengambil bidang studi disiplin lain. Misalnya, kelompok matematika dan IPA boleh mengambil antropologi. Atau, kelompok IPS boleh mengambil biologi. Tapi setiap murid wajib mengambil semua mata pelajaran di kelompok peminatan. Ketika perdebatan awal gagasan peminatan ini muncul, tidaklah demikian. Pada waktu itu, diharapkan murid betul-betul mengambil materi yang diminati dan sesuai dengan orientasi belajarnya di perguruan tinggi nantinya.

Ketiga, soal penambahan jam pelajaran di semua jenjang pendidikan juga inkonsisten antara latar belakang penambahan dan penerjemahannya dalam struktur kurikulum. Latar belakangnya adalah karena adanya perubahan pendekatan proses pembelajaran, tapi dalam struktur kurikulum terjadi penambahan jumlah jam mata pelajaran. Sebagai contoh, pendidikan agama di SD kelas I-III dari dua menjadi empat jam seminggu, yang diikuti dengan perumusan kompetensi dasar (KD) yang seimbang dengan jumlah jamnya, sehingga yang terjadi tetap mengejar materi, bukan proses pembelajarannya yang dibenahi. Semestinya yang diubah adalah lamanya tatap muka untuk setiap mata pelajaran, misalnya tatap muka di SD kelas I-III saat ini per jam mata pelajaran itu selama 35 menit, bisa ditambah menjadi 45 menit. Di SMP-SMTA, dari 45 menit per jam pelajaran dapat ditambah menjadi 60 menit per jam pelajaran, sehingga proses pembelajarannya lebih leluasa.

Problem lain yang dimunculkan dari penambahan jam pelajaran per minggu itu adalah makin menghilangkan otonomi sekolah, karena waktu yang tersedia untuk mengembangkan kurikulum sendiri makin sempit.

Sumber : Kolom Tempo.co, Rabu, 10 Juli 2013 (Darmaningtyas, Tamansiswa Jakarta)

Catatan : Apapun Problematika dari Implentasi Kurikulum 2013 dibutuhkan keseriusan dan kerjasama semua pihak dalam mensukseskan pelaksanaan  Kurikulum 2013 agar terlaksana sesuai tujuan.

Wawasan Lingkungan

Sebagai sekolah yang mengembangkan program sekolah berwawasan lingkungan yang merupakan program keunggulan sekolah maka diharapkan ini merupakan langkah strategis untuk menciptakan daya saing dan menarik minat siswa untuk lebih mencintai lingkungannya. Dengan input yang lebih baik dan proses pembelajaran yang kompetitif serta lingkungan sekolah yang mendukung maka bukan hal yang mustahil untuk menciptakan generasi penerus yang mempunyai daya saing tinggi di bidang akademik dan non akademik serta berwawasan lingkungan.

Link

Link Portal

Link PT